Kode-kode di balik lukisan tertua dan termahal Istana Negara
Senin, 8 Agustus 2016 08:27
Reporter : Tsana Garini Sudradjat

Lukisan yang dimaksud berjudul "Penangkapan Pangeran Diponegoro". Lukisan ini merupakan satu dari enam karya Raden Saleh yang menjadi koleksi Istana Kepresidenan RI.
"Tahun 2010 kita membuat penilaian sekitar Rp 50 miliar. Sekarang, tahun 2016, mungkin bisa tiga kali lipat," ujar Adek Wahyuni Saptantinah, pengelola koleksi Istana Kepresidenan RI, kepada merdeka.com.
Selain karena lukisan ini merupakan lukisan paling tua di antara koleksi lainnya, nilai sejarah yang terkandung di dalamnya juga sangatlah tinggi.
Sang maestro melukis "Penangkapan Pangeran Diponegoro" di Belanda pada tahun 1857, lebih dari 20 tahun setelah peristiwa sesungguhnya terjadi di Magelang.
"Lukisan ini merupakan wujud dari opini Raden Saleh atas ketidaksetujuannya terhadap lukisan serupa karya Nicholas Pienemaan," ujar Mikke Santoso, kurator Pameran 17/71: Goresan Juang Kemerdekaan ketika memimpin tur di Galeri Nasional, Jakarta, Minggu (7/8).
Nicholas Pinemaan adalah seorang pelukis asal Belanda. Pada tahun 1835, dia membuat lukisan bertajuk "Penyerahan Diri Diponegoro Kepada Letnan Jenderal H.M. de Kock, 28 Maret 1930, yang Mengakhiri Perang Jawa".
Pada dasarnya, kedua lukisan ini menceritakan peristiwa yang sama, namun dengan detail yang berbeda. Dalam lukisan versinya, Raden Saleh melakukan beberapa perubahan. Terdapat pesan-pesan simbolik di balik setiap perubahan yang dia buat.
Pertama-tama, dari judulnya saja kedua lukisan ini sudah nampak berseberangan. Nicholas Pienemaan menggambarkan bagaimana Diponegoro menyerahkan diri kepada tentara Belanda, sedangkan Raden Saleh menggambarkan Diponegoro yang tertangkap karena tertipu.
Hal tersebut juga tergambarkan oleh posisi sang pangeran. "Sikap Diponegoro menantang. Dia mendongak," ujar Mikke, menunjuk lukisan karya sang pelopor seni rupa modern Indonesia di belakangnya.
Berbeda dengan posisi Diponegoro di lukisan Nicholas di mana dia diletakkan di bawah tangga, sedangkan tentara Belanda berada di atasnya. Ekspresinya juga terlihat lesu dan pasrah. Kedua, Raden Saleh menggambar para tentara Belanda dengan kepala yang terlalu besar untuk proporsi tubuhnya. Hal ini diyakini sengaja dilakukannya untuk membuat mereka terlihat lebih mengerikan.
Selain itu, ada hal menarik lain yang bisa Anda temukan bila memerhatikan lukisan ini dengan seksama. "Ada tiga potret diri Raden Saleh," ujar Mikke sambil menunjuk tiga orang berwajah serupa dalam lukisan tersebut.
Ya, Raden Saleh menggambar dan mengikutsertakan dirinya sendiri dalam karyanya. "Dia menyatakan diri sebagai pengikut Diponegoro," lanjut Mikke.
Pemerintah Belanda memberikan lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" kepada Pemerintah Indonesia pada 1978, bersamaan dengan dikembalikannya sejumlah artefak warisan budaya lainnya. Sebelumnya, Raden Saleh memang menyerahkannya kepada Ratu Belanda.
Sejak saat itu, "Penangkapan Pangeran Diponegoro" menjadi bagian penting di Istana Kepresidenan RI. Karya yang menunjukkan jiwa nasionalis Raden Saleh, mengecam sikap penjajahan, dan menuntut agar martabat orang Jawa dikembalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar